Diskusi Sastra di Suku Seni Riau "Dammahum, cerpen yang tidak hanya sekedar cerpen"

PEKANBARU (pekanbaru.flp.or.id) – Suku Seni Riau gelar Bedah Buku Cerpen Dammahum karya Benny Arnas, dalam kesempatan itu Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Pekanbaru hadir sebagai peserta aktif. Diskusi sastra ini juga dihadiri Benny Arnas sebagai pembicara utama. Studio Suku Seni, Selasa (07/03/2023).

Dibahas oleh pak Hary B. Kori’un, dimoderatori Marhalim Zaini, dan dihadiri oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau serta para penulis dan komunitas literasi Pekanbaru di antaranya; FLP Cabang Pekanbaru, FLP Wilayah Riau, Teratak Literasi, kak Siti Salmah, kak Rian Harahap, ketua Jaringan Teater Riau, dan juga FTBM Riau.

Pada buku kumpulan cerpen Dammahum terdapat 14 cerpen, dan memiliki ketersambungan atau dikenal dengan istilah anakronis, sehingga seolah-olah menjadi cerita panjang bahkan ada yang menyebutnya novel. Tokoh-tokoh yang dibangun saling berkaitan pada setiap cerpen. Poin menarik lainnya nan mencuri perhatian ialah kalimat, "... politik adalah kelas akting terbaik. - Serkan Yusuf" sebelum masuk pada daftar isi.

“Sehebat apapun seorang penulis tetap perlu seorang editor yang teliti dan baik” karena saya menemukan ada kata "nafas" pada cerpen pertama, kemudian pada cerpen kedua "napas"lalu bergantian. perkataan ini keluar dari lisan pak Hary B. Kori’un, saat melihat ada kejanggalan pada buku yang diulas.


Penulis Benny Arnas merespon permasalahan tersebut dengan menyebutkan, "Editor yang benar tidak ada di Indonesia, Lion grow adalah editor yang benar di Amerika."

Saat diberi kesempatan untuk berbicara, Pak Toha selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau mengatakan bahwa, “Saya hadir ke sini merupakan bukti bahwa saya dan balai bahasa provinsi riau mendukung komunitas sastra. Namun di sini yang di bedah adalah buku untuk kalangan dewasa, saya harap tidak hanya buku dewasa saja yang dibedah, tapi juga bedah buku anak-anak (untuk membangun literasi juga harus ada berkesinambungan)”

Semarak dari peserta yang hadir diwarnai dengan beberapa pertanyaan di antaranya:

Mulyati Umar (FLP Wilayah Riau): "Bagaimana bisa membuat sebuah cerita dengan waktu yang berbeda-beda, berlatar sejarah?"

Mendapat pertanyaan ini, Benny Arnas menjawab, "Kita boleh meminjam, meyandingkan kejadian sebagai mercusuar prosa kita"

(Perwakilan Suku Seni Riau) : "Bagus mana penerbit mayor atau minor dalam hal editornya? Bagaimana memunculkan nama dalam tokoh?"

"Sama saja, tidak ada jaminan penerbitan mayor lebih bagus dari penerbit minor. Itu semua hanya masalah legacy atau pengakuan saja, kadang penerbit minor kualitas editornya lebih bagus daripada mayor. Sedangkan untuk memunculkan tokoh dari nama ialah membangun metamofora dan untuk menjadi imajinasi dari pembaca agar tokoh tersebut berkarakter misal, nama Umar, kita ingatnya sosok Umar adalah yang tegas dan seterusnya." (Jawaban sang Penulis buku, untuk pertanyaan kedua)

Siti Salmah: "Bang Benny berani melanggar KBBI dalam karyanya, apakah abang tidak takut mengajarkan kepada generasi berikutnya tentang melanggar KBBI?"

Menanggapi pertanyaan yang diajukan salah satu penyair Riau itu, Benny Arnas menjawab dengan yakin, "Tidak takut, bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lisan, contoh satai, orang bilangnya sate, bukan satai kan. Kemudian bahasa serapan seperti Al Quran ditulis Al Qur’an ada tanda petik di atasnya sesuai permintaan dari Kementrian Agama, terus idulfitri digabung secara penulisan padahal secara lisan di pisah"


Intinya yang Anda baca karya, bukan kata, kalimat, ataupun paragraf (Benny Arnas)

Reportase : Rachmat hidayat

Editor : Isnania

Dokumentasi : Suku Seni Riau & Rachmat Hidayat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.