“Sehebat apapun seorang penulis tetap perlu seorang editor yang teliti dan baik” karena saya menemukan ada kata "nafas" pada cerpen pertama, kemudian pada cerpen kedua "napas", lalu bergantian. perkataan ini keluar dari lisan pak Hary B. Kori’un, saat melihat ada kejanggalan pada buku yang diulas.
Mulyati Umar (FLP Wilayah Riau): "Bagaimana bisa membuat sebuah cerita dengan waktu yang berbeda-beda, berlatar sejarah?"
Mendapat pertanyaan ini, Benny Arnas menjawab, "Kita boleh meminjam, meyandingkan kejadian sebagai mercusuar prosa kita"
(Perwakilan Suku Seni Riau) : "Bagus mana penerbit mayor atau minor dalam hal editornya? Bagaimana memunculkan nama dalam tokoh?""Sama saja, tidak ada jaminan penerbitan mayor lebih bagus dari penerbit minor. Itu semua hanya masalah legacy atau pengakuan saja, kadang penerbit minor kualitas editornya lebih bagus daripada mayor. Sedangkan untuk memunculkan tokoh dari nama ialah membangun metamofora dan untuk menjadi imajinasi dari pembaca agar tokoh tersebut berkarakter misal, nama Umar, kita ingatnya sosok Umar adalah yang tegas dan seterusnya." (Jawaban sang Penulis buku, untuk pertanyaan kedua)
Siti Salmah: "Bang Benny berani melanggar KBBI dalam karyanya, apakah abang tidak takut mengajarkan kepada generasi berikutnya tentang melanggar KBBI?"
Menanggapi pertanyaan yang diajukan salah satu penyair Riau itu, Benny Arnas menjawab dengan yakin, "Tidak takut, bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lisan, contoh satai, orang bilangnya sate, bukan satai kan. Kemudian bahasa serapan seperti Al Quran ditulis Al Qur’an ada tanda petik di atasnya sesuai permintaan dari Kementrian Agama, terus idulfitri digabung secara penulisan padahal secara lisan di pisah"
Intinya yang Anda baca karya, bukan kata, kalimat, ataupun paragraf (Benny Arnas)
Reportase : Rachmat hidayat
Editor : Isnania
Dokumentasi : Suku Seni Riau & Rachmat Hidayat


Tidak ada komentar